Tradisi Nyadran Menjelang Ramadhan

Penulis: Indra Yusuf

Dibaca: 373 kali

Indra Yusuf

Oleh Indra Yusuf

(Guru SMAN 7 Cirebon/Komunitas CintaIndonesia/KACI #PASTI BISA#).

 

Menjelang bulan Ramadhan, ada beberapa tradisi menarik yang dilakukan oleh sebagian besar umat Islam di Indonesia, termasuk di wilayah Cirebon-Jawa Barat. Tradisi itu di antaranya adalah nyadran, yakni ziarah kubur ke makam sesepuh, orang tua ataupun keluarga yang lain. Dalam Bahasa Cirebon sendiri nyadran lebih dikenal dengan ngembang atau nyekar. Nyekar dan ngembang berasal dari kata kembang atau sekar yang berarti bunga.

Sehingga ngembang dan nyekar memiliki makna menaruh bunga pada makam sambil diiringi dengan doa. Tradisi ini biasanya dilakukan menjelang datangnya bulan Ramadhan, yakni pada bulan Ruwah. Jika kita telusuri secara bahasa atau etimologis  kata Ruwah berasal dari Bahasa Arab yang berarti arwah. Sedangkan berdasarkan ajaran mudhunan dan munggahan, bulan Ruwah merupakan saat turunnya arwah para leluhur untuk mengunjungi keluarganya di dunia.

Nyadran atau nyekar dikatakan hanya sebagai tradisi, karena memang sebenarnya dalam Al-Quran maupun hadits Rasulullah SAW sendiri tidak ditemukan dalil bahwa Rasulullah SAW atau para shahabat melakukan nyekar atau nyadran serta berziarah ke makam menjelang bulan ramadhan. Sehingga hal ini hanya tradisi semata yang tidak ada kaitannya dengan perintah syariah Islam. Namun demikian, Islam tidak melarang seseorang untuk berziarah kubur atau melakukan silaturrahim dengan sanak saudara.

Dahulu memang ziarah kubur itu pernah dilarang namun kemudian dibolehkan. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW tentang ziarah kubur : "Dahulu Aku (Rasulullah SAW) melarang kalian ziarah kubur, namun sekarang silahkan berziarah kubur". (HR. Muslim dan merupakan hadits Shahih dan terdapat dalam syarah imam Nawawi).

Terlepas dari itu semua nyadran lebih pada kegiatan bersih makam dan doa bersama. Tradisi nyadran dapat dimaksudkan sebagai simbol adanya hubungan yang bersifat antar sesama (horisontal) maupun dengan Tuhan Yang Maha Esa (vertikal). Dengan adanya tradisi nyadran diharapkan bagi keluarga yang masih hidup bisa mendoakan keluarga-keluarga yang telah meninggal dunia. Tidak hanya itu, nyadran bisa dijadikan sebagai proses refleksi bahwa semua ciptaan Tuhan termasuk manusia akan kembali kepadaNya.

Nyadran juga merupakan sebuah pola kegiatan ritual yang mengandung unsur budaya lokal dan nilai-nilai Islam, sehingga sangat tampak adanya akulturasi antara nilai lokalitas suatu daerah dengan budaya Islami. Ternyata tidak hanya dengan agama Islam terjadinya akulturasi pada tradisi nyadran tetapi kental juga dengan budaya Hindu- Buddha dan animisme. Nyadran telah menjadi budaya masyarakat yang sudah melekat dan menjunjung tinggi nilai-nilai religiusitas.

Prosesi ritual nyadran biasanya dimulai dengan membuat penganan seperti apem, ketan, dan kolak. Kemudian ketiga jenis penganan tersebut dijadikan satu ke dalam wadah yang diberinama takir, yang terbuat dari daun pisang. Penganan tersebut selain dipakai munjung (mengirim) kepada saudara yang lebih tua, juga menjadi pelengkap kenduri. Tetangga dekat juga mendapatkan bagian dari penganan tadi. Hal itu dilakukan sebagai ungkapan solidaritas dan ungkapan kesalehan sosial kepada sesama.

Sementara dari sisi sosioantropologi, tradisi nyadran tidak hanya sebatas membersihkan makam-makam leluhur, membuat penganan apem, kolak, dan sebagainya sebagai unsur sesaji sekaligus landasan ritual doa. Nyadran juga menjadi ajang silaturahmi keluarga dan sekaligus menjadi media komunikasi sosial, budaya, dan keagamaan.

Oleh karenanya tradisi nyadran tidak sekadar ziarah ke makam leluhur, tetapi juga ada nilai-nilai sosial budaya yang bersifat komunal. Pada saat berada di kompleks pemakaman terjadi interaksi yang kadang bagi orang-orang tertentu merupakan momen yang langka. Karena setelah sekian lama merantau baru kali ini dapat bertemu dengan teman atau handaitolan semasa kecil dulu. Bahkan, seusai nyadran ada diantaranya yang sukses mengajak teman atau saudaranya di desa untuk ikut merantau di kota diamna Ia dapat meraih kesuksesan.

Dalam konteks sosial dan budaya, nyadran dapat dijadikan sebagai wahana dan medium kohesi sosial, sarana membangun jati diri bangsa, rasa kebangsaan dan nasionalisme. Nyadran menjadi ajang untuk berbaur dengan masyarakat, saling mengasihi, saling menyayangi satu sama lain. Nyadran dalam konteks kekinian telah menjelma sebagai bagian dari budaya masyarakat yang sarat dengan nilai budaya maupun religiusitas.

Konon upacara nyadran (sraddha) sendiri sudah dilakukan sejak jaman Majapahit. Dalam bukunya yang berjudul Kalangwan, Sejarawan Zoetmulder juga mengisahkan upacara nyadran pernah dilaksanakan untuk mengenang wafatnya Tribhuwana Tungga Dewi pada tahun 1352. Setelah agama Islam masuk ke tanah Jawa, upacara nyadran tetap dilaksanakan, namun oleh Sunan Kalijaga dikemas dalam nuansa islami dan suasana penuh silaturrahmi yang diadakan tiap bulan Ruwah. Berbagai upacara yang diselenggarakan masyarakat Jawa untuk menyambut Ramadhan memang merupakan ciri khas, karena tak dapat dijumpai di tempat lain. Inilah perpaduan tradisi Jawa dan Islam yang diajarkan oleh Sunan Kalijaga untuk memperkenalkan Islam pada masyarakat Jawa. Dalam implementasi sebenarnya tidak sekadar gotong royong membersihkan makam leluhur, selamatan dengan kenduri, membuat kue apem ketan kolak sebagai unsur utama sesaji sebagai landasan ritual doa.

Nyadran kini tidak saja telah berkembang menjadi ajang komunikasi komunal yang sarat dengan pesan silaturahmi. Namun nyadran juga telah mampu meningkatkan perekonomian setidaknya bagi masyarakat yang bermukim di sekitar areal pemakaman. Mereka dapat berjualan kembang, jajanan atau hanya sekedar menawarkan jasa membersihkan makam.

Tetapi ada juga yang menjadi keprihatinan bagi kita semua, yakni disaat nyadran, kita seringkali menemukan pemandangan dimana bocah-bocah yang mengejar para peziarah untuk meminta sedekahnya. Agak sedikit memaksa bocah-bocah tersebut mengikuti terus orang-orang yang akan berziarah. Tentu hal ini sangat membahayakan bagi pembentukan mental dan karekater anak-anak tersebut di masa yang akan datang.

Akhirnya bagaimana pun awalnya, maknanya, serta dampaknya adanya tradisi nyadran atau nyekar tidak akan mengurangi kekhusyukan kita untuk menunaikan ibadah puasa di Bulan Ramadhan tahun ini. Marhaban Ya Ramadhan selamat menunaikan Ibadah Shaum Ramadhan 1441 H. ***

 

Tag:
Nalar Lainnya
...
Dadan Supardan

Semangat Revitalisasi di Mata Angkie

Nalar Lainnya
...
ENDANG KOMARA

INDEPENDENSI ASN

...
Asep S. Muhtadi

Komunikasi Pembelajaran di Masa Pandemi

...
Prof. Dr Cecep Darmawan, S.Pd., S.IP., S.H.,M.H.,M.Si.

EKSISTING DAN PROBLEMATIKA PENDIDIKAN DI JAWA BARAT

...
...
...