Penulis: Indra Yusuf
Indra Yusuf
Oleh Indra
Yusuf
(Guru SMAN 7 Cirebon/Komunitas CintaIndonesia/KACI #PASTI BISA#).
Menjelang bulan Ramadhan, ada beberapa tradisi menarik yang dilakukan
oleh sebagian besar umat Islam di Indonesia, termasuk di wilayah Cirebon-Jawa
Barat. Tradisi itu di antaranya adalah nyadran, yakni ziarah kubur ke makam sesepuh, orang
tua ataupun keluarga yang lain. Dalam Bahasa Cirebon sendiri nyadran lebih
dikenal dengan ngembang atau nyekar. Nyekar dan ngembang berasal dari kata
kembang atau sekar yang berarti bunga.
Sehingga ngembang dan nyekar memiliki makna menaruh bunga pada makam
sambil diiringi dengan doa. Tradisi ini biasanya dilakukan menjelang datangnya
bulan Ramadhan, yakni pada bulan Ruwah. Jika kita telusuri secara bahasa atau
etimologis kata Ruwah berasal dari
Bahasa Arab yang berarti arwah. Sedangkan berdasarkan ajaran mudhunan dan munggahan, bulan Ruwah merupakan saat turunnya arwah para leluhur
untuk mengunjungi keluarganya di dunia.
Nyadran atau nyekar dikatakan hanya sebagai tradisi, karena memang
sebenarnya dalam Al-Quran maupun hadits Rasulullah SAW sendiri tidak ditemukan
dalil bahwa Rasulullah SAW atau para shahabat melakukan nyekar atau nyadran
serta berziarah ke makam menjelang bulan ramadhan. Sehingga hal ini hanya
tradisi semata yang tidak ada kaitannya dengan perintah syariah Islam. Namun
demikian, Islam tidak melarang seseorang untuk berziarah kubur atau melakukan
silaturrahim dengan sanak saudara.
Dahulu memang ziarah kubur itu pernah dilarang namun kemudian dibolehkan. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW tentang ziarah kubur : "Dahulu Aku (Rasulullah SAW) melarang kalian ziarah kubur, namun sekarang silahkan berziarah kubur". (HR. Muslim dan merupakan hadits Shahih dan terdapat dalam syarah imam Nawawi).
Terlepas dari itu semua nyadran lebih pada kegiatan bersih makam dan
doa bersama. Tradisi nyadran dapat dimaksudkan sebagai simbol adanya hubungan
yang bersifat antar sesama (horisontal) maupun dengan Tuhan Yang Maha Esa
(vertikal). Dengan adanya tradisi nyadran diharapkan bagi keluarga yang masih
hidup bisa mendoakan keluarga-keluarga yang telah meninggal dunia. Tidak hanya
itu, nyadran bisa dijadikan sebagai proses refleksi bahwa semua ciptaan Tuhan
termasuk manusia akan kembali kepadaNya.
Nyadran juga merupakan sebuah pola kegiatan ritual yang mengandung
unsur budaya lokal dan nilai-nilai Islam, sehingga sangat tampak adanya
akulturasi antara nilai lokalitas suatu daerah dengan budaya Islami. Ternyata
tidak hanya dengan agama Islam terjadinya akulturasi pada tradisi nyadran
tetapi kental juga dengan budaya Hindu- Buddha dan animisme. Nyadran telah
menjadi budaya masyarakat yang sudah melekat dan menjunjung tinggi nilai-nilai
religiusitas.
Prosesi ritual nyadran biasanya dimulai dengan membuat penganan seperti apem, ketan, dan kolak.
Kemudian ketiga jenis penganan tersebut dijadikan satu ke dalam wadah yang
diberinama takir, yang terbuat dari daun pisang. Penganan tersebut selain dipakai munjung (mengirim) kepada saudara
yang lebih tua, juga menjadi pelengkap kenduri. Tetangga dekat juga mendapatkan
bagian dari penganan tadi. Hal itu
dilakukan sebagai ungkapan solidaritas dan ungkapan kesalehan sosial kepada
sesama.
Sementara dari sisi sosioantropologi, tradisi nyadran tidak hanya
sebatas membersihkan makam-makam leluhur, membuat penganan apem, kolak, dan sebagainya sebagai unsur sesaji
sekaligus landasan ritual doa. Nyadran juga menjadi ajang silaturahmi keluarga
dan sekaligus menjadi media komunikasi sosial, budaya, dan keagamaan.
Oleh karenanya tradisi nyadran tidak sekadar ziarah ke makam leluhur,
tetapi juga ada nilai-nilai sosial budaya yang bersifat komunal. Pada saat
berada di kompleks pemakaman terjadi interaksi yang kadang bagi orang-orang
tertentu merupakan momen yang langka. Karena setelah sekian lama merantau baru
kali ini dapat bertemu dengan teman atau handaitolan semasa kecil dulu. Bahkan,
seusai nyadran ada diantaranya yang sukses mengajak teman atau saudaranya di
desa untuk ikut merantau di kota diamna Ia dapat meraih kesuksesan.
Dalam konteks sosial dan budaya, nyadran dapat dijadikan sebagai wahana
dan medium kohesi sosial, sarana membangun jati diri bangsa, rasa kebangsaan
dan nasionalisme. Nyadran menjadi ajang untuk berbaur dengan masyarakat, saling
mengasihi, saling menyayangi satu sama lain. Nyadran dalam konteks kekinian
telah menjelma sebagai bagian dari budaya masyarakat yang sarat dengan nilai
budaya maupun religiusitas.
Konon upacara nyadran (sraddha) sendiri sudah dilakukan sejak jaman
Majapahit. Dalam bukunya yang berjudul Kalangwan, Sejarawan Zoetmulder juga
mengisahkan upacara nyadran pernah dilaksanakan untuk mengenang wafatnya
Tribhuwana Tungga Dewi pada tahun 1352. Setelah agama Islam masuk ke tanah
Jawa, upacara nyadran tetap dilaksanakan, namun oleh Sunan Kalijaga dikemas
dalam nuansa islami dan suasana penuh silaturrahmi yang diadakan tiap bulan
Ruwah. Berbagai upacara yang diselenggarakan masyarakat Jawa untuk menyambut Ramadhan
memang merupakan ciri khas, karena tak dapat dijumpai di tempat lain. Inilah perpaduan
tradisi Jawa dan Islam yang diajarkan oleh Sunan Kalijaga untuk memperkenalkan
Islam pada masyarakat Jawa. Dalam implementasi sebenarnya tidak sekadar gotong
royong membersihkan makam leluhur, selamatan dengan kenduri, membuat kue apem
ketan kolak sebagai unsur utama sesaji sebagai landasan ritual doa.
Nyadran kini tidak saja telah berkembang menjadi ajang komunikasi
komunal yang sarat dengan pesan silaturahmi. Namun nyadran juga telah mampu
meningkatkan perekonomian setidaknya bagi masyarakat yang bermukim di sekitar
areal pemakaman. Mereka dapat berjualan kembang, jajanan atau hanya sekedar
menawarkan jasa membersihkan makam.
Tetapi ada juga yang menjadi keprihatinan bagi kita semua, yakni disaat
nyadran, kita seringkali menemukan pemandangan dimana bocah-bocah yang mengejar
para peziarah untuk meminta sedekahnya. Agak sedikit memaksa bocah-bocah
tersebut mengikuti terus orang-orang yang akan berziarah. Tentu hal ini sangat
membahayakan bagi pembentukan mental dan karekater anak-anak tersebut di masa
yang akan datang.
Akhirnya bagaimana pun awalnya, maknanya, serta dampaknya adanya
tradisi nyadran atau nyekar tidak akan mengurangi kekhusyukan kita untuk
menunaikan ibadah puasa di Bulan Ramadhan tahun ini. Marhaban Ya Ramadhan selamat menunaikan Ibadah Shaum Ramadhan 1441
H. ***