Penulis: SULEHA
SULEHA
Oleh SULEHA
(Kepala SMA Negeri
1 Subang Kab. Kuningan/Komunitas Cinta Indonesia/KACI #PASTI BISA#)
Peringatan Hari
Pendidikan Nasional, Tahun 2020 diliputi rasa keprihatinan dan keterbatasan
sehubungan dengan Pandemi Covid 19 yang sedang mewabah ditanah air. Akan tetapi
hal tersebut tidak menyurutkan semangat peserta didik dan guru untuk terus
belajar walau dengan Sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PPJ) melalui daring. Belajar
dari rumah adalah satu kebijakan Kemendikbud dalam upaya terwujudnya
keseimbangan antara penyelamatan kesehatan dan berlangsungnya kegiatan
pembelajaran.Tentu harus diakui bahwa PPJ dalam pelaksanaannya terjadi banyak
kendala, disamping faktor letak geografis tapi juga faktor SDM sebagian guru
yang agak tergagap menghadapi
pembelajaran berbasis daring, harus diakui itu.
Walaupun demikian
tidak juga seperti yang diungkapkan oleh salah seorang pengamat pendidikan(ngakunya),
Indra Charismiadji, yang menyatakan bahwa “ Bagaimana bisa pendidikan kita mau
maju kalau guru di Indonesia anti kritik, maunya gaji besar, tetapi kualitasnya
rendah..”.Gambaran kualitas mutu pendidikan di Indonesia itu rendah menurut
Indra, terlihat dari hasil PISA (Programme for Internasional Student Assessment
) yang katanya menempatkan Indonesia diurutan kedua terbawah. Itulah realita
yang ada semua mengakuinya, tapi apakah mutu pendidikan itu hanya diukur oleh
nominal angka-angka?, lebih jauh dari itu bagaimana pendidikan mampu melahirkan
generasi yang pari purna, yang dalam filosofis orang sunda generasi yang cageur, bageur, bener, pinter tur singer.
Kita para guru adalah insan cendikia yang tidak anti untuk dikritik, tapi kami
tidak menerima ketika penilaian guru digeneralisir seolah semua guru rendah dan
tidak bermutu serta cenderung merendahkan profesi guru. Hal inilah yang membuat
sebagian besar guru marah-marah atas penilaian sepihak dari Indra Charismiadji,
atas profesi guru.
Cukupkah Hanya dengan Marah-Marah?
Kritik adalah
bagian dari kesempatan kita untuk meraih kesuksesan. Bahkan pidato Abu Bakar
Ash –Shiddiq, ketika diangkat sebagai khalifah, sebagai pemimpin negeri beliau
mengatakan, “ aku bukanlah yang terbaik diantara kalian jika aku membuat
kebaikan maka dukunglah aku, jika aku membuat kejelekan maka luruskanlah
aku..”. Belajar dari itu semua sejarah mengajarkan kepada kita banyak diantara
pemimpin dunia termasuk di Indonesia yang tergelincir jatuh karena sanjungan
dan tidak sedikit yang berhasil sukses karena
kritikan.
Oleh karena itu
menghadapi kritikan dari Indra Charismiadji, tentang rendahnya mutu guru, kita
berhak untuk marah, tapi sekedarnya saja, tidak perlu sumpah serapah yang
menjurus pada penyerangan karakter pribadi seseorang sebab kalau sikap kita
seperti itu lalu apa bedanya kita dengan Indra Charismiadji ?. Kita harus
bangga dengan profesi kita, tapi tidak perlu terlalu bertepuk dada membanggakan diri, bukankah kita pahlawan
tanpa tanda jasa?, biarlah murid-murid kita yang merasakan dedikasi dan bakti
kita kepada mereka. Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu mengatakan “ Jangan
menjelaskan dirimu kepada siapapun, karena yang menyukaimu tidak butuh itu, dan
yang membencimu tidak percaya itu “. Anggap saja Indra Charismiadji adalah
salah seorang yang tidak suka pada profesi guru, jadi penjelasan apapun tidak
akan dipercaya.
Tetapi kalau kita
mau berhusnuzhan, berbaik sangka boleh jadi kritikan itu yang akan menyadarkan
kita semua untuk mencintai profesi sebagai guru. Diranah positif, kritik tersebut hendaknya menjadi pemicu dan
pemacu kita yang berprofesi sebagai guru untuk terus belajar dan berbenah diri meningkatkan
kompetensi kita untuk menuju guru profesional.
Lalu Bagaimana Kita Bersikap?
Tugas guru bukan
hanya mengajar dan melatih akan tetapi yang lebih utama adalah sebagai
pendidik. Di pundaknyalah tertanam harapan untuk mencetak generasi bangsa yang
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggungjawab. Karena tugas seorang guru yang cukup berat, Menurut hemat
Penulis, yang perlu kita lakukan adalah adanya perubahan paradigma yang
mendasar dalam diri seorang guru untuk menjadi guru professional.
Pertama, Niat yang ikhlas dalam melaksanakan tugas.
Hal ini menjadi penting karena jika seorang guru
ikhlas melaksanakan tugasnya dan dibarengi dengan niat mengamalkan ilmu yang
dimilikinya untuk kemanfaatan dan kebaikan serta memberantas kebodohan anak
didiknya, maka semua itu insya Allah akan menjadi pahala kebaikan disisi Allah
yang Maha kuasa. Niat untuk mendapatkan imbalan kesejahteraan dari tugas yang
dilakukan adalah hal yang manusiawi, akan tetapi itu semua jangan dijadikan
sebagai tujuan utama, karena hal itu bisa menyeret ke lembah kedangkalan
hati.Akibatnya tidak akan merasa puas atas apa yang diperoleh sebagai pendidik.
Kondisi ini bukan mustahil akan membuat seorang guru hanya selalu menuntut hak,
sedangkan tugas utama sebagai pendidik justru jauh panggang dari api. Oleh
karena itu bagi para guru yang sudah terlanjur (barang kali) menekuni profesi
guru, perlu meluruskan kembali niatnya sehingga tugas yang dilakukan berada
dalam kemurnian jalan yang dicatat oleh Allah sebagai lading ibadah.
Kedua, Menjadi pribadi yang dapat diteladani.
Pepatah lama
mengatakan guru adalah sosok pribadi yang harus di gugu dan ditiru. Paling
tidak hal ini dapat terlihat dihadapan anak didiknya. Kejujuran adalah mahkota
bagi seorang guru. Manakala tidak ada kejujuran pada dirinya maka tidak akan
ada pula kepercayaan terhadap ilmu dan
ucapan yang disampaikannya.Jika seorang murid mengetahui kebohongan seorang
guru, maka ia akan menarik kepercayaannya itu yang pada akhirnya akan menjatuhkan
wibawa seorang guru dihadapan murid-muridnya. Bagi seorang guru kalau kita mau
merefleksi diri, sudahkah kita menjadi guru yang dapat diteladani
murid-muridnya?, kalau mau jujur rasanya masih banyak hal yang harus kita
perbaiki. Sebetulnya hal ini wajar karena guru juga manusia biasa. Tapi yang
tidak wajar adalah manakala kita menutup mata hati atas kekurangan-kekurangan
semua itu, tanpa ada niatan untuk memperbaikinya paling tidak menguranginya.
Maka jika melihat
anak didik yang setiap saat dijejali dengan ilmu agama, nasihat moral dan nilai-nilai
kebaikan, akan tetapi perilakunya jauh dari nilai-nilai tuntunan agama dan
nilai-nilai moral yang dianut dalam kehidupan kesehariannya, hal ini boleh jadi
karena guru guru yang mengajarkan kebaikan itu belum menjadi teladan bagi yang
diajarnya.
Ketiga, Guru harus menjadi Pribadi yang dinamis.
Orang yang bisa
mencapai kesuksesan adalah orang yang menyadari bahwa dirinya banyak
kekurangan, sehingga dia mau belajar dan belajar.Upaya Pemerintah untuk
memperbaiki system pendidikan nasional melalui penyempurnaan kurikulum dan
peningkatan anggaran pendidikan, tidak akan membawa dampak yang signifikan
terhadap kemajuan pendidikan di negeri ini, jika guru tidak mau mengubah
paradigma dan pola pikir tentang tugas dan kompetensi yang senantiasa harus
dikembangkan sejalan dengan dinamika dan perubahan paradigma dunia pendidikan
yang cepat dan radikal.
Era digitalisasi
pendidikan yang berlangsung saat ini menuntut guru untuk terus berimprovisasi
serta akrab dengan informasi dan teknologi, sehingga guru tidak kalah cepat
oleh anak didiknya. Pelaksanaan PPJJ sebagai pertaruhan profesionalisme kita dihadapan siswa dan
masyarakat yang diera transparasi saat ini kita seolah berada dalam aquarium,
sehingga siapapun bisa melihatnya terang benderang serta memberikan penilaian
atas kinerja guru termasuk yang dilakukan oleh Indra Charismiadji. Guru tidak
usah berupaya apalagi memaksa merubah pandangan dan menghentikan kritikan
(hujatan) seorang Indra Charismiadji terhadap profesi guru, akan tetapi guru
terus berhidmat meningkatkan kualitas diri sebagai guru Profesional.
Semoga!