Penulis: Dr. H. Dedi Nurhadiat, M.Pd
Prof. Dr. Muchlis R. Ludin, M.A.
(Manusia
Berencana Allah yang Menentukan)
Oleh
Dr. H. Dedi Nurhadiat, M.Pd
Dapat dikatakan awet muda, karena ketika
beliau lulus pendidikan S2 di tahun 1987, penulis saat itu baru lulus program
D3 Seni Rupa IKIP Bandung. Tentu dari disiplin ilmu yang digeluti jauh berbeda
antara penulis yang menggeluti kesenimanan dengan beliau seorang yang
menggeluti psikolog pendidikan, dan ilmu sosiolog. Namun ada nilai persamaan
yaitu memiliki unsur pendidikan. Penulis mendalami nilai keindahan lahiriah
secara kasat mata. Sedangkan sang profesor menerapkan keindahan batiniah.
Ilmu itu dikatakan bermanfaat, tatkala
bisa diterapkan dalam kehidupan nyata. Seperti terjadi pada profesor, yang
selalu tampak muda, karena menerapkan ilmu yang digelutinya. Saat sarjana (S1)
beliau mengambil jurusan Psikologi Pendidikan, di UNJ. Kemudian dilanjut
program S2 jurusan Ilmu Sosial & Ilmu Politik di Universitas Indonesia.
Maka beliau disamping jadi guru besar mengajar MSDM, juga sempat duduk
mendampingi mentri pendidikan dalam jabatan Irjen. Tentu hal ini sejalan dengan
latar pendidikan yang ditempuh, seperti yang di uraikan di atas ini. Yang jadi
sorotan dalam tulisan ini, tentang rahasia awet muda sang profesor. Yang tidak
terlalu banyak orang membicarakannya.
Awal cerita, sekitar tahun 2013. Ketika
itu, kami melakukan foto bersama di acara Seminar ”Penanganan Anak Gifted” yang
diselenggarakan SMA5, Kabupaten Bekasi. Ada guru yang berkomentar bahwa
penampilan saat berfoto, tampak lebih muda profesor dari pada saya. Tentu saja,
penulis tidak merasa yakin dengan komentar mereka. Mungkin itu hanya gurauan
belaka. Saat foto usai dicetak, ternyata begitu tampak jelas bahwa profesor
seperti lebih muda. Bahkan rentangannya seperti sangat jauh dari realita usia
sesungguhnya.
Selanjutnya, rasa penasaran itu
dilanjutkan lewat pengamatan di kampus. Saat para mahasiswa pada antre
bimbingan disertasi di lantai 4 gedung pasca sarjana UNJ. Para mahasiswa yang
lagi pada antre berderet duduk di ruang tunggu itu, satu-satu dibandingkan
dengan wajah profesor yang sedang bicara menghadap mahasiswanya. Banyak mahasiswa
bermuka kusut, sangat kontras dengan dosennya. Mungkin inilah yang dimaksud UNJ
(Universitas Neraka Jahanam) yang diluruskan oleh Prof. Djaali menjadi
Universitas Nur Jannah.
Tampak jelas mereka yang menunggu
bimbingan Prof. Muchlis itu, tak secerah wajah promotor mereka yang selalu
tetersenyum (seperti cahaya Jannah). Sangat kontras dibanding wajah mahasiswa/i
yang baru keluar dari antrian di ruangan Dr. Paskalis Riberu. Penulis
menilainya karena Prof. Muchlis habis berwudhu dan salat ashar waktu itu.
Disamping itu ada senyuman yang selalu memancarkan aora berbeda diwajahnya.
Sekian tahun kemudian, penulis tak pernah
lagi ke UNJ untuk bertemu para profesor di sana. Ketika Prof. Muchlis muncul di
layar kaca mendampingi Mas Mentri, penampilan beliau tak banyak berubah.
Semakin yakin, bahwa beliau punya rahasia ilmu awet muda yang nyata hasilnya.
Begitu bisikan dalam hati, saat itu.
Prof. Dr. Muchlis R. Luddin, M.A sejak diangkat
Mas Mentri Nadiem Makarim jadi Irjen Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Kerap muncul di layar kaca mendampingi orang nomor satu di kementrian itu.
Namun belakangan berhenti, karena batas usia purnabakti, tepatnya pada tanggal
27 Mei 2020. Beliau berhenti, sesuai batas usia eselon 1 (60
tahun). Sejak saat itu, kembali menjadi Guru Besar di UNJ.
Belakangan di akhir ritual pemakaman pada
hari Kamis 29 Juli 2021 di pemakaman Al Azhar, Kerawang. Penulis mencari-cari
tulisan beliau untuk mengenang jasanya dalam dunia pendidikan. Akhirnya rahasia
awet muda itu tersibak setelah membaca tulisan profesor di media online
Kumparan. Diduga sang profesor mengamalkan filsafat dan budaya Jepang. Sebab
dalam salah satu tulisannya yang berjudul "Jepang Ikigai dan Pembelajaran
Hidup". Dalam uraiannya ada yang berbunyi
"...di masyarakat Jepang, misalnya,
kebahagiaan itu tak bersifat statis, tak sepi, atau stagnan. Kebahagiaan itu
bersifat sibuk, dinamis. The happiness of always being busy.” Begitu profesor
menuliskannya.
Rahasiah umur panjang orang Jepang, hasil
kajian profesor, dipaparkan dalam tulisan itu, di antaranya “Simple life in the
outdoors, green tea, and subtropical climatuli Inilah yang kemudian disebut
cara pandang 'Ikigai', yang membentuk cara hidup orang Jepang."
Tentang Ikigai beliau menghubungkannya
dengan praktik 'Yuimaaru' atau dikenal juga dengan 'teamwork'. Hal ini sejalan
dengan pengamatan seorang ahli nuklir dari LIPI Dr. Gunarwan lulusan Tokyo
University. Ahli nuklir itu, mengungkapkan budaya Jepang, saat diwawancara
untuk sebuah konten youtube saat itu.
Dr. Gunarwan
memaparkan, budaya masyarakat Jepang yang selalu bekerja dalam team yang
kompak. Bukan hanya itu, utamanya saling mendukung satu sama lain (tidak
menonjolkan ego pribadi). Tentu saja, Dr Gunarwan bisa berbicara lancar karena
berdasarkan pengalamannya selama kuliah di perguruan tinggi ternama di sana.
Untuk menyibak rahasiah sukses masyarakat Jepang, ahli nuklir ini, sempat
menggeluti jadi pengecer harian surat kabar di sana. Makanya sangat banyak
sekali pengetahuan tentang kinerja orang Jepang dia pahami. Hal ini, sangat
sejalan dengan tulisan profesor, di atas.
Bedanya, Profesor Muchlis R. Luddin
mengupasnya secara keilmuan. Dipaparkan secara lebih rinci, bahwa 'Ikigai'
dirumuskan sebagai “the brings satisfaction, happiness, and meaning to our
lives”. 'Ikigai' inilah yang membawa orang-orang Jepang, khususnya di distrik
Okinawa, Ogimi, dalam apa yang sering dikenal sebagai 'blue Zones', yakni
daerah yang secara geografis dikategorikan sebagai zona “where people live
longest”. Tampaknya konsep inilah yang profesor terapkan dalam perilaku
kesehariannya.
Tak lupa profesor merinci nama-nama tempat
di Jepang dan luar Jepang yang memiliki budaya mirif dan penduduknya rata-rata
berusia panjang seperti di Okinawa, Jepang; Sardinia, Italia; Loma Linda,
California; The Nicoya Peninsula, Costa Rica; dan Ikaria, Yunani.
Kehidupan profesor yang serba sibuk itu,
dihadapi secara lebih nyaman, tenang, sederhana dan mudah dipahami mahasiswa.
Setiap permasalahan ditanggapi dengan ceria. Seperti saat menyikapi banyaknya
perguruan tinggi yang terkesan membodohi publik menyangkut “World Class
University” Menyikapi ramainya iklan perguruan tinggi di layar kaca, di radio,
bahkan pamplet dan plyer menyebut-nyebut istilah itu. Jawaban profesor hanya
dengan satu pertanyaan”...adakah kandidat peraih Nobel di perguruan tinggi
tersebut?" Dengan satu pertanyaan itu saja sudah dengan sendirinya meluluhlantakkan
argumen banyak orang.
Secara kebetulan juga banyak mahasiswa
yang jadi dosen di perguruan tinggi swasta ikut program doktoral, ikut
perkuliahan beliau. Dapat diduga yang memerah mukanya, adalah mereka yang
melakukan promosi berlebihan itu.
Kita pahami bahwa
WCU ( World Class University) kerap didefinisikan pada penilaian, perankingan,
dan pengakuan yang berskala internasional pada universitas atau kampus di
berbagai negara. Baik kampus negeri maupun swasta telah berupaya dan berlomba
untuk menjadi universitas kelas dunia. Realitanya masih jauh panggang dari api.
Dari uraian singkat profesor tentang WCU,
akhirnya ada juga yang membahas Studi Levin, Jeong dan Ou (2006) menyebut
beberapa tolok ukur skala pengakuan internasional world class university itu.
Dengan beberapa tolok ukur itu mahasiswa mulai bisa menangkap apa yang dimaksud
dengan kampus berkelas internasional, yakni kampus-kampus yang menempati
peringkat besar dalam pemeringkatan yang dilakukan oleh lembaga dengan reputasi
internasional.
Jawaban singkat Profesor Muchlis L. Luddin
itu, tentu saja merembet kemana-mana, membuat gaduh suasana kelas dan di luar
kelas. Karena di TV, Radio, dan medsos lainnya sedang gencar-gencarnya.
Pembodohan publik itupun mulai sirna beberapa bulan kemudian. Apakah karena
ulah profesor? Jawabnya tentu hasil kajian bersama.
Aktivitas tinggi, tetap ramah, disiplin,
kerja sama dalam tim, dst., membuat profesor selalu bertenaga, lincah, geraknya
ringan. Walau beban kerjanya sangat padat. Karya tulisnya juga selalu muncul di
media online maupun di media cetak. Tampaknya padatnya acara, begitu ringan di pundak
beliau.
Beda seseorang yang bergelar profesor
dengan bukan itu, terletak dari karya tulis. Tampaknya terjawab pada diri
beliau. Ilmunya bukan hanya ditulis. Tapi dihayati dalam kehidupannya. Sehingga
beliau selalu tampak lebih muda dari usianya.
Namun Allah berkehendak berbeda.
Penampilan profesor yang tampak muda, lincah, bertenaga, ramah, dll. Sangat
seirama dengan konsep tulisannya. Tampak isi kata-kata dan perilaku begitu terjiwai.
Namun kini harus takluk di makhluk tak kasat mata, yaitu virus covid-19 melahap
organ tubuhnya yang memang sudah menjelang purnabakti.
Wajar sang profesor itu takluk, karena
dakhsyatnya varian Delta ini.Tentang varian baru ini, Kompas.com, melansir
Medical News Today, 6 Juli 2021, yang menjelaskan bahwa varian Delta plus juga
dikenal sebagai B.1.617.2.1 atau AY.1va Dijelaskan juga bahwa Varian Delta plus
adalah turunan dari varian Delta, dengan satu-satunya perbedaan yang diketahui
adalah mutasi tambahan, K417N, pada protein membuat lonjakan virus.
Protein itulah yang memungkinkan
menginfeksi sel-sel penderita dengan pesat. Semua rumah sakit dipadati pasien
begitu cepatnya. Sehingga keluarga profesor yang lama keliling ke berbagai
rumah sakit, tak kunjung mendapatkan tempat. Terpaksa dirawat di rumah dengan
mendatangkan dokter pribadi. Saat mendapatkan ruang rawat inap tampaknya harus
sudah ketergantungan ke alat ventilator. Namun pihak keluarga tak mengijinkan
menggunakan alat bantu pernapasan tersebut. Begitu paparan keluarga di zoom
saat pemakaman profesor di Alazhar Kerawang. Wallahu a'lam.(DN)
PUSTAKA
Diamond, Ian. (2007). "Social
Sciences Lose 1".Times Higher Education.. Diunduh di:
http://www.timeshighereducation.co.uk/
Henry M., Jeong, Dong Wook, & Ou,
Dongsu. (2006). What is World Class University? Paper for The Conference Of The
Comparative and International EducationSociety, Honolulu, Hawaii, March, 16.
https://kumparan.com/muchlis-r-luddin/jepang-ikigai-dan-pembelajaran-hidup-1pg5SqV8xFD
http://www.timeshighereducation.co.uk/world-university-rankings
http://www.webometrics.info/
about_rank.html.
Kelner, Douglas.,
Lewis Tyson E., & Pierce, Clayton. (2008), On Marcus: Critique, Liberation,
and Reschooling in the Radical Pedagogy of
Herbert Marcuse. Rotterdam, Netherlands:
Sense Publisher.
Kompas. "ITB: "World Class
University Bukan Tujuan Utama" 27Oktober 2009.
Kompas. "Miliaran Rupiah, demi
Universitas Berkelas Internasional." 20 Mei 2009.
Marginson, Simon. (2006). "Ranking
Ripe for Misleading". The Australian. Diunduh dari
http://www.theaustralian.com.au/higher-education/.
Nurtjahjadi. (2010). "Inggris Protes
Ranking WCU." Diunduh dari website Edukasi Kompasiana
http://edukasi.kompasiana.com
Republika. "Menuju World Class
University." 9 April.Pelak