SISWA BERJUALAN DI DALAM KELAS, BAGAI MANA SIKAP KEPALA SEKOLAH? (Penjual Bakwan Goreng Jadi Duta Indonesia untuk ASEAN)

Penulis: Dr. Dedi Nurhadiat, M.Pd.

Dibaca: 3309 kali

Mega

Oleh Dr. Dedi Nurhadiat, M.Pd

 

Ujian berat bagi penulis telah berbuah manis, di tanggal 20 Juni 2021. Dengan kedatangan alumni, yang menjadi duta Indonesia untuk ASEAN & EROPA. Hal ini telah membuka memori lama. Inilah sebuah kebanggaan, para guru dan pemimpin sekolah. "Koperasi siswa, bisa jadi ajang latihan kewirausahaan...!" ucap penulis di atas podium saat itu. Sesungguhnya pidato itu untuk meredam polemik yang ada. Akibat protes halus pengelola kantin sekolah, yang omzetnya turun drastis. Diperkuat oleh pengamat intern sekolah, yang mengkhawatirkan prestasi siswa terganggu akibat terlalu sibuk mengurusi dagangannya.

Alkisah, kira-kira di tahun 2015/2016, jarum pendek jam dinding menunjukkan pada angka 6. Penulis sebagai kepala sekolah yang baru dirotasi dari tempat lain. Memang saat itu, begitu sibuk merencanakan dasar-dasar RJPS (Rencana Jangka Panjang Sekolah) & RJM (Rencana Jangka Menengah). Tahapan untuk membuat rencana itu, di antaranya menerima keluhan dan usulan warga sekolah merupakan hal wajib dilakukan.

Saat berkeliling mengontrol suasana persiapan PBM tatap muka, di setiap kelas. Suasana sekolah saat itu masih sepi, kecuali OB (office boy) dan satpam yang ada di lokasi. Namun tampak suasana kelas sudah pada rapih. Karena ada kesepakatan bahwa siswa piket kelas, wajib merapikan kelasnya sebelum pulang. Walau ada saja yang tidak sesuai dengan harapan, jika kontrolnya melemah. Biasanya jika ditegur selalu saja ada argumen dengan berbagai alasan. Di suatu pagi buta itu, penulis sampailah di kelas yang paling rapi, dan selalu rapi. Terkuak dengan munculnya seorang siswi berkulit hitam manis tersenyum ramah. "Oh...ini ternyata rahasianya," jawaban hati kecil, saat itu.

Terlihat siswi berkulit hitam manis itu, membawa bungkusan plastik berisi penuh aneka makanan. Jawabnya ternyata berisi berbagai jenis gorengan untuk dijual ke temannya. Dia begitu lancar menerangkan, tanpa menunggu pertanyaan. Hal ini mengingatkan penulis, ke masa sekolah dasar dahulu di tahun 1974/1975. Persis melakukan hal yang sama. Bedanya berjualan jeruk kepada teman sekelas. Jeruk manis ukuran kecil, banyak yang menyebutnya jeruk siam. Maklum hanya buah jeruk itulah yang ada di halaman rumah.

Waktu itu masih duduk di bangku SD. Tak banyak siswa yang melakukan jualan seperti itu. Bahkan hampir jarang ditemukan. Maka jualannya juga sembunyi-sembunyi, karena rasa rendah diri. Bahkan kadang diselimuti rasa malu berlebihan. Tapi berbeda dengan siswi yang ditemui ini. Siswi di SMA1 Setu yang satu ini, begitu bangga dengan barang dagangannya.

Awalnya memang mengejutkan sekali, ternyata kebiasaan berjualan di kelas demikian itu, ada yang melakukannya di tempat penulis bekerja. Walau ada perbedaan sikap yang menonjol dibanding penulis saat berjualan di kelas zaman dahulu itu. Memang ada beberapa siswa yang melakukan hal serupa saat itu di sekolah yang baru ditempati. Hal demikian memang biasanya tak asing di beberapa sekolah. Khususnya sekolah yang berada di lingkungan perkampungan. Namun uniknya siswi yang satu ini begitu bangga dengan dagangannya. Biasanya siswa/i yang berjualan di sekolah itu sangat rendah diri. Inilah keunikan dari Mega. Sebut saja itu namanya.

Alangkah beratnya bagi kepala sekolah, menentukan sikap, ketika ada yang protes dari penjual gorengan di kantin belakang sekolah. Katanya omzet mereka berkurang drastis. Konon akibat banyaknya siswa yang berjualan di dalam kelas secara sembunyi-sembunyi. Begitu yang terdengar saat itu. Berbeda dengan realita yang ada. Wajar jika merasa ada dilema menyikapi dua kepentingan ini. Karena keduanya harus diselamatkan. Siswa berjualan di kelas itu, hanya untuk kelangsungan pendidikannya atau untuk membantu orangtuanya. Sementara pengelola kantin yang rata-rata sebagai OB (Offce Boy) yang berjualan untuk menutupi kekurangan biaya hidup. Karena upah OB itu sangat rendah.

Di setiap sekolah, upah OB rata-rata di bawah UMR saat itu. Suasana bertambah rumit ketika ada OB yang berulang kali mengadukan hal kelas kotor, mengarah ke siswa/i yang berjualan di dalam kelas. Ada pula segelintir pengamat yang mengkhawatirkan menurunnya prestasi sekolah, karena banyak siswa/i belajar sambil jualan. Inilah keunikan di sekolah ini saat itu. Namun menuai pro dan kontra.

Banyaknya yang bertanya tentang sikap kepala sekolah terkesan begitu gamang mengambil sikap. Bahkan cenderung mengizinkan siswa berjualan dengan ketentuan harus berprestasi. Hal ini, membuat sebagian warga kecewa berat. Ada pula yang sakit hati, karena terkadang penulis memberi contoh kepada warga sekolah untuk memborong dagangan siswa dan dibagikan sebagai sedekah. Terkesan seperti mendukung siswa mengurangi omzet kantin sekolah. Hal ini, sesungguhnya karena kenangan latar masa lalu penulis yang saat itu baru dirotasi jadi kepala sekolah di lokasi baru. Kisahnya seperti uraian di bawah ini.

Sekitar tahun 1974 penulis duduk di kelas 4 SD, bertepatan dengan musim buah jeruk siam (ukuran buah jeruknya kecil-kecil). Pohonnya pendek berbuah lebat. Sangat cocok untuk hiasan di halaman rumah. Penulis sebelum berangkat ke sekolah, selalu naik pohon jeruk. Tas sekolah dipenuhi buah jeruk untuk dijual ke teman sekelas. Lumayan untuk nambah-nambah uang jajan. Hal inilah yang membuat terenyuh setiap kali ada siswa/i berjualan di kelas. Dan sering spontan memborong dagangan mereka, karena iba.

Kita lupakan dulu, kisah penulis yang berjualan jeruk siam di dalam kelas saat duduk di kelas 4 hingga kelas 5 sekolah dasar saat itu. Ternyata kebiasaan ini, ada yang menyamai, dan tidak hanya satu orang. Seolah-olah membudaya di sekolah ini. Sebut saja seorang siswi bernama Mega seperti diuraikan di atas. Siswi ini, paling menonjol di antara sekian siswa/i yang berdagang. Karena tidak rendah diri seperti siswa pedagang lainnya. Kok begitu percaya diri dengan dagangannya? Ternyata, sejak kecil Mega, sudah hidup tanpa seorang ayah. Mega adalah seorang anak bungsu yang ditinggal ayah pada usia 3 bulan. Mega dibesarkan bersama ibu dan 3 orang kaka.

Singkat cerita alumni SMA1 Setu tahun 2017 ini, menamatkan kuliah di UIN Jakarta jurusan sastra Indonesia. Nama panggilan di sekolah biasa disebut "Lail" nama lain dari Mega Zulaila Dinni. Begitu ungkap dirinya di broadcast Satu Padu Guru tanggal 20 Juni 2021. Penulis menilai Mega hidupnya lebih prihatin dari kepala sekolahnya saat jadi siswa dahulu. Karena Asisten Dosen di UIN Jakarta itu, saat bayi berusia 3 bulan, sudah ditinggal ayahnya. Hal inilah yang membuat dia sebegitu handal. Karena kegigihannya, saat jadi mahasiswi UIN sudah ditunjuk sebagai asisten dosen. Dan sering ditugasi mewakili kampus di ajang lomba skala nasional atau skala internasional.

Jiwa kepemimpinannya sudah tampak sejak kecil. Bahkan saat duduk di bangku MP, dirinya terpilih sebagai Ketua  OSIS. Karena organisasi inilah, membuat dirinya tambah berani untuk berbicara ditempat umum. Hingga pasca lulus dari UIN, pernah mewakili delegasi Indonesia untuk Asean. 

Tempaan hidup yang luar biasa, membiasakan gadis kecil hitam manis ini, sejak sekolah menengah, harus bangun sebelum subuh untuk membuat barang dagangan, berupa; risol, martabak, bakwan goreng, dll. Pukul 6.00 sudah sampai di sekolah, untuk menata dagangan di bawah meja belajar. Kini modal dasar itulah yang paling dirasakan, dalam hidupnya.

Begitu total kepercayaan pada dirinya, dari mulai kesibukan berjualan, aktif di organisasi, dan aktif di berbagai lomba. Kegiatan sepadat itu, tidak membuat prestasi akademik Mega menurun. Begitulah menurut pengakuan dirinya, di acara broadcast Satu Padu Guru, tanggal 20 juli 2021.

Masih menurut alumni UIN Jakarta dalam acara broadcast di atas. Dia mengungkapkan yang berkesan di sekolah menengah, di antaranya saat kelas XI di SMA1 Setu, sempat mendapatkan juara duta baca di tingkat Kabupaten Bekasi. Hingga sempat membina TBM (Taman Bacaan Masyarakat). Gerakan literasi sekolah SMA1 Setu, yang mewajibkan durasi 2 menit untuk membaca buku saat itu, diduga hal inilah yang melatari kejuaraan di atas tadi. 

Kesibukan yang sangat padat, tidak menjadikan nilai akademik gadis hitam manis ini menurun. Terbukti  karena prestasi di bidang akademiknya inilah, maka dia masuk UIN Jakarta dengan beasiswa Bidik Misi. Di sisi lainnya beasiswa inilah yang mengharuskan Mega tinggal di Asrama, dengan persyaratan cukup berat. "Sempet syok culture, karena di asrama wajib berbahasa Ingris dan berbahasa Arab," ungkapnya di acara Podcast Satu Padu Guru. Tentu saja wajar terjadi syok, karena waktu di SMA mengambil jurusan IPA, bukan jurusan bahasa.

Belajar bahasa asingnya diawali keberanian untuk berbicara, walau salah. Akhirnya menunjukkan hasil nyata. Gadis yang sering disapa "Lail" ini, mendapat tugas dari dosen untuk berangkat ke luar negeri. Di antaranya mengisi acara ASIA KAMPUS untuk tugas selama 14 hari ke Malaysia, dan 14 hari keThailan. Dan akhirnya dikukuhkan sebagai delegasi Indonesia untuk Asean. 

Karena dua minggu sebelum keberangkatan, setiap negara tentu ada ambasadornya, yaitu duta merk (bahasa Inggris: Brand Ambassador) adalah istilah pemasaran. "Di dalam ambasador ada pengarahan seperti untuk kewajiban membawa batik, performancenya apa saja, dst," ungkap mega. Di tempat itulah Mega dikukuhkan sebagai ambadador Indonesia untuk Asean. Saat itu, berarti diberi kepercayaan jadi delegasi pemasaran produk Indonesia untuk Asean. Menyangkut juga pendidikan, ekonomi, pariwisata dan seterusnya. Sejak saat itu selalu diundang ke berbagai acara di ASEAN.

Semua keberhasilan di atas, karena perjalanan panjang. Sebelumnya di luar kuliah selalu ikut kegiatan lomba nasional dan Internasional. Hingga dalam lomba debat pendidikan di Yogyakarta Mega keluar sebagai juara terbaik atas nama universitas. Sejak saat itu diangkat sebagai asisten dosen, tim peneliti orang asing dengan hasil berupa karya tulis ilmiah. Karya ilmiah ini, sering diunggah di jurnal internasional.

Pada Juli 2020 seharusnya sudah berangkat ke Asean terganjal vaksin covid-19. Baru Awal Desember berangkat ke Brunai, Vietnam, Thailan, Malaysia, dst. "Saat diberi tugas ke Turki bertepatan dengan musim salju sungguh luar biasa. Terlebih ditempatkan di perkampungan. Apa saja yang dilakukan di Turki? Jawabnya mengajar bahasa Indonesia & ngajar mengaji. Selama satu bulan kembali ke Indonesia. Namun kembali ke Turki,” ungkap Mega di podcast. Perusahaan mengangkatnya jadi admin oleh Konsul Jenderal RI dan membantu Konsul Jenderal RI kemanapun juga. Akhirnya menggantikan peran istrinya konjen, yang almarhum karena sakit. Ungkapnya saat memberi semangat ke ade kelasnya di acara PLS itu.

Barang makanan yang dieksport berupa cabe, bawang, kecap, saos, tebu, dst. Bagaimana prosedur regulasi jual barang ke luar negeri. Mega punya cara membentuk wajah baru: membuat desain sendiri, mengiklankan, bahan sendiri, distribusi sendiri. “Pernah membuat produk berawal dari 40 kg bahan makanan dan sukses, hingga bisa mencapai 200kg dalam waktu singkat," ujarnya. Untuk berkembang, tak bisa bekerja sendiri, untuk itu perlu melibatkan orang banyak. “Maka saudara mulai dilibatkan, dari mulai Om, tante, kaka ipar semua diajak di bawah manajemen milik sendiri," ungkap Mega bersemangat.

Mega menjelaskan mulai bulan Maret kemarin melakulan ekspor 3x dalam sebulan. Semua itu untuk memenuhi restoran Indonesia. Belum lagi untuk restoran Turki sendiri. Kerja sama dengan travel dan penerbangan merupakan kegiatan utama. Maka kini Mega jadi member di Abudhabi dan Dokha.

“Semuanya untuk kerja sama restoran di Turki,” pungkas Mega menutup perbincangan karena mau siap-siap terbang ke Jerman. Hal ini dia katakan sambil membawa produk kopi merek Waglo sebagai kerja sama perdana dengan penulis. (DN)

 

 

Tag:
Nalar Lainnya
...
Dadan Supardan

Semangat Revitalisasi di Mata Angkie

Nalar Lainnya
...
ENDANG KOMARA

INDEPENDENSI ASN

...
Asep S. Muhtadi

Komunikasi Pembelajaran di Masa Pandemi

...
Prof. Dr Cecep Darmawan, S.Pd., S.IP., S.H.,M.H.,M.Si.

EKSISTING DAN PROBLEMATIKA PENDIDIKAN DI JAWA BARAT

...
...
...