Penulis: Dr. Dedi Nurhadiat, M.Pd.
Mega
Oleh Dr.
Dedi Nurhadiat, M.Pd
Ujian
berat bagi penulis telah berbuah manis, di tanggal 20 Juni 2021.
Dengan kedatangan alumni, yang menjadi duta Indonesia untuk ASEAN
& EROPA. Hal ini telah membuka memori lama. Inilah sebuah kebanggaan, para
guru dan pemimpin sekolah. "Koperasi siswa, bisa jadi ajang
latihan kewirausahaan...!" ucap penulis di atas podium saat itu. Sesungguhnya
pidato itu untuk meredam polemik yang ada. Akibat protes halus
pengelola kantin sekolah, yang omzetnya turun drastis. Diperkuat oleh pengamat
intern sekolah, yang mengkhawatirkan prestasi siswa terganggu akibat
terlalu sibuk mengurusi dagangannya.
Alkisah,
kira-kira di tahun 2015/2016, jarum pendek jam dinding menunjukkan pada angka
6. Penulis sebagai kepala sekolah yang baru dirotasi dari tempat lain.
Memang saat itu, begitu sibuk merencanakan dasar-dasar RJPS (Rencana Jangka
Panjang Sekolah) & RJM (Rencana Jangka Menengah). Tahapan untuk membuat
rencana itu, di antaranya menerima keluhan dan usulan warga sekolah merupakan
hal wajib dilakukan.
Saat
berkeliling mengontrol suasana persiapan PBM tatap muka, di setiap kelas.
Suasana sekolah saat itu masih sepi, kecuali OB (office boy) dan satpam yang
ada di lokasi. Namun tampak suasana kelas sudah pada rapih. Karena ada
kesepakatan bahwa siswa piket kelas, wajib merapikan kelasnya sebelum
pulang. Walau ada saja yang tidak sesuai dengan harapan, jika
kontrolnya melemah. Biasanya jika ditegur selalu saja ada argumen dengan
berbagai alasan. Di suatu pagi buta itu, penulis sampailah di kelas yang
paling rapi, dan selalu rapi. Terkuak dengan munculnya seorang siswi
berkulit hitam manis tersenyum ramah. "Oh...ini ternyata rahasianya,"
jawaban hati kecil, saat itu.
Terlihat
siswi berkulit hitam manis itu, membawa bungkusan plastik berisi penuh
aneka makanan. Jawabnya ternyata berisi berbagai jenis gorengan untuk dijual
ke temannya. Dia begitu lancar menerangkan, tanpa menunggu
pertanyaan. Hal ini mengingatkan penulis, ke masa sekolah dasar dahulu di
tahun 1974/1975. Persis melakukan hal yang sama. Bedanya berjualan jeruk kepada
teman sekelas. Jeruk manis ukuran kecil, banyak yang menyebutnya jeruk siam.
Maklum hanya buah jeruk itulah yang ada di halaman rumah.
Waktu
itu masih duduk di bangku SD. Tak banyak siswa yang melakukan jualan seperti
itu. Bahkan hampir jarang ditemukan. Maka jualannya juga sembunyi-sembunyi,
karena rasa rendah diri. Bahkan kadang diselimuti rasa malu berlebihan. Tapi
berbeda dengan siswi yang ditemui ini. Siswi di SMA1 Setu yang satu ini, begitu
bangga dengan barang dagangannya.
Awalnya
memang mengejutkan sekali, ternyata kebiasaan berjualan di kelas demikian itu,
ada yang melakukannya di tempat penulis bekerja. Walau ada perbedaan sikap yang
menonjol dibanding penulis saat berjualan di kelas zaman dahulu itu. Memang ada
beberapa siswa yang melakukan hal serupa saat itu di sekolah yang baru
ditempati. Hal demikian memang biasanya tak asing di beberapa sekolah.
Khususnya sekolah yang berada di lingkungan perkampungan. Namun uniknya
siswi yang satu ini begitu bangga dengan dagangannya. Biasanya siswa/i yang
berjualan di sekolah itu sangat rendah diri. Inilah keunikan dari Mega. Sebut
saja itu namanya.
Alangkah
beratnya bagi kepala sekolah, menentukan sikap, ketika ada yang protes
dari penjual gorengan di kantin belakang sekolah. Katanya omzet mereka
berkurang drastis. Konon akibat banyaknya siswa yang berjualan di dalam kelas
secara sembunyi-sembunyi. Begitu yang terdengar saat itu. Berbeda dengan
realita yang ada. Wajar jika merasa ada dilema menyikapi dua kepentingan
ini. Karena keduanya harus diselamatkan. Siswa berjualan di kelas itu, hanya
untuk kelangsungan pendidikannya atau untuk membantu orangtuanya. Sementara
pengelola kantin yang rata-rata sebagai OB (Offce Boy) yang berjualan untuk
menutupi kekurangan biaya hidup. Karena upah OB itu sangat rendah.
Di
setiap sekolah, upah OB rata-rata di bawah UMR saat itu. Suasana bertambah
rumit ketika ada OB yang berulang kali mengadukan hal kelas kotor,
mengarah ke siswa/i yang berjualan di dalam kelas. Ada pula
segelintir pengamat yang mengkhawatirkan menurunnya prestasi sekolah, karena
banyak siswa/i belajar sambil jualan. Inilah keunikan di sekolah ini saat
itu. Namun menuai pro dan kontra.
Banyaknya
yang bertanya tentang sikap kepala sekolah terkesan begitu gamang
mengambil sikap. Bahkan cenderung mengizinkan siswa berjualan dengan ketentuan
harus berprestasi. Hal ini, membuat sebagian warga kecewa berat. Ada pula yang
sakit hati, karena terkadang penulis memberi contoh kepada warga sekolah untuk
memborong dagangan siswa dan dibagikan sebagai sedekah. Terkesan seperti
mendukung siswa mengurangi omzet kantin sekolah. Hal ini, sesungguhnya karena
kenangan latar masa lalu penulis yang saat itu baru dirotasi jadi kepala
sekolah di lokasi baru. Kisahnya seperti uraian di bawah ini.
Sekitar tahun
1974 penulis duduk di kelas 4 SD, bertepatan dengan musim buah jeruk siam
(ukuran buah jeruknya kecil-kecil). Pohonnya pendek berbuah lebat. Sangat cocok
untuk hiasan di halaman rumah. Penulis sebelum berangkat ke sekolah, selalu
naik pohon jeruk. Tas sekolah dipenuhi buah jeruk untuk dijual ke teman
sekelas. Lumayan untuk nambah-nambah uang jajan. Hal inilah yang membuat
terenyuh setiap kali ada siswa/i berjualan di kelas. Dan sering spontan
memborong dagangan mereka, karena iba.
Kita
lupakan dulu, kisah penulis yang berjualan jeruk siam di dalam kelas saat duduk
di kelas 4 hingga kelas 5 sekolah dasar saat itu. Ternyata kebiasaan ini,
ada yang menyamai, dan tidak hanya satu orang. Seolah-olah membudaya di sekolah
ini. Sebut saja seorang siswi bernama Mega seperti diuraikan di atas. Siswi
ini, paling menonjol di antara sekian siswa/i yang berdagang. Karena tidak
rendah diri seperti siswa pedagang lainnya. Kok begitu percaya diri dengan
dagangannya? Ternyata, sejak kecil Mega, sudah hidup tanpa seorang ayah. Mega
adalah seorang anak bungsu yang ditinggal ayah pada usia 3 bulan. Mega
dibesarkan bersama ibu dan 3 orang kaka.
Singkat cerita
alumni SMA1 Setu tahun 2017 ini, menamatkan kuliah di UIN Jakarta jurusan
sastra Indonesia. Nama panggilan di sekolah biasa disebut "Lail" nama
lain dari Mega Zulaila Dinni. Begitu ungkap dirinya di broadcast Satu Padu Guru
tanggal 20 Juni 2021. Penulis menilai Mega hidupnya lebih prihatin dari
kepala sekolahnya saat jadi siswa dahulu. Karena Asisten Dosen di UIN Jakarta
itu, saat bayi berusia 3 bulan, sudah ditinggal ayahnya. Hal
inilah yang membuat dia sebegitu handal. Karena kegigihannya, saat jadi
mahasiswi UIN sudah ditunjuk sebagai asisten dosen. Dan sering ditugasi
mewakili kampus di ajang lomba skala nasional atau skala internasional.
Jiwa kepemimpinannya sudah
tampak sejak kecil. Bahkan saat duduk di bangku MP, dirinya terpilih
sebagai Ketua OSIS. Karena organisasi inilah, membuat dirinya tambah
berani untuk berbicara ditempat umum. Hingga pasca lulus dari UIN, pernah
mewakili delegasi Indonesia untuk Asean.
Tempaan
hidup yang luar biasa, membiasakan gadis kecil hitam manis ini, sejak
sekolah menengah, harus bangun sebelum subuh untuk membuat barang dagangan,
berupa; risol, martabak, bakwan goreng, dll. Pukul 6.00 sudah sampai di sekolah,
untuk menata dagangan di bawah meja belajar. Kini modal dasar itulah yang
paling dirasakan, dalam hidupnya.
Begitu
total kepercayaan pada dirinya, dari mulai kesibukan berjualan, aktif di
organisasi, dan aktif di berbagai lomba. Kegiatan sepadat itu, tidak
membuat prestasi akademik Mega menurun. Begitulah menurut pengakuan
dirinya, di acara broadcast Satu Padu Guru, tanggal 20 juli 2021.
Masih
menurut alumni UIN Jakarta dalam acara broadcast di atas. Dia mengungkapkan
yang berkesan di sekolah menengah, di antaranya saat kelas XI di SMA1
Setu, sempat mendapatkan juara duta baca di tingkat Kabupaten Bekasi. Hingga
sempat membina TBM (Taman Bacaan Masyarakat). Gerakan literasi sekolah SMA1
Setu, yang mewajibkan durasi 2 menit untuk membaca buku saat itu, diduga hal
inilah yang melatari kejuaraan di atas tadi.
Kesibukan
yang sangat padat, tidak menjadikan nilai akademik gadis hitam manis ini
menurun. Terbukti karena prestasi di bidang akademiknya inilah, maka dia
masuk UIN Jakarta dengan beasiswa Bidik Misi. Di sisi lainnya beasiswa
inilah yang mengharuskan Mega tinggal di Asrama, dengan persyaratan cukup
berat. "Sempet syok culture, karena di asrama wajib berbahasa
Ingris dan berbahasa Arab," ungkapnya di acara Podcast Satu Padu
Guru. Tentu saja wajar terjadi syok, karena waktu di SMA mengambil jurusan
IPA, bukan jurusan bahasa.
Belajar
bahasa asingnya diawali keberanian untuk berbicara, walau salah. Akhirnya
menunjukkan hasil nyata. Gadis yang sering disapa "Lail" ini,
mendapat tugas dari dosen untuk berangkat ke luar negeri. Di antaranya mengisi acara
ASIA KAMPUS untuk tugas selama 14 hari ke Malaysia, dan 14 hari
keThailan. Dan akhirnya dikukuhkan sebagai delegasi Indonesia untuk
Asean.
Karena
dua minggu sebelum keberangkatan, setiap negara tentu ada ambasadornya,
yaitu duta merk (bahasa Inggris: Brand Ambassador) adalah istilah pemasaran.
"Di dalam ambasador ada pengarahan seperti untuk kewajiban membawa
batik, performancenya apa saja, dst," ungkap mega. Di tempat itulah
Mega dikukuhkan sebagai ambadador Indonesia untuk Asean. Saat itu,
berarti diberi kepercayaan jadi delegasi pemasaran produk Indonesia untuk
Asean. Menyangkut juga pendidikan, ekonomi, pariwisata dan seterusnya. Sejak
saat itu selalu diundang ke berbagai acara di ASEAN.
Semua
keberhasilan di atas, karena perjalanan panjang. Sebelumnya di luar kuliah
selalu ikut kegiatan lomba nasional dan Internasional. Hingga dalam lomba
debat pendidikan di Yogyakarta Mega keluar sebagai juara terbaik atas nama
universitas. Sejak saat itu diangkat sebagai asisten dosen, tim peneliti
orang asing dengan hasil berupa karya tulis ilmiah. Karya ilmiah ini, sering
diunggah di jurnal internasional.
Pada Juli
2020 seharusnya sudah berangkat ke Asean terganjal vaksin covid-19. Baru
Awal Desember berangkat ke Brunai, Vietnam, Thailan, Malaysia, dst. "Saat diberi
tugas ke Turki bertepatan dengan musim salju sungguh luar biasa. Terlebih
ditempatkan di perkampungan. Apa saja yang dilakukan di Turki? Jawabnya mengajar
bahasa Indonesia & ngajar mengaji. Selama satu bulan kembali ke Indonesia.
Namun kembali ke Turki,” ungkap Mega di podcast. Perusahaan mengangkatnya jadi
admin oleh Konsul Jenderal RI dan membantu Konsul Jenderal RI kemanapun
juga. Akhirnya menggantikan peran istrinya konjen, yang almarhum karena sakit.
Ungkapnya saat memberi semangat ke ade kelasnya di acara PLS itu.
Barang
makanan yang dieksport berupa cabe, bawang, kecap, saos, tebu, dst.
Bagaimana prosedur regulasi jual barang ke luar negeri. Mega punya cara
membentuk wajah baru: membuat desain sendiri, mengiklankan, bahan sendiri,
distribusi sendiri. “Pernah membuat produk berawal dari 40 kg bahan
makanan dan sukses, hingga bisa mencapai 200kg dalam waktu singkat," ujarnya.
Untuk berkembang, tak bisa bekerja sendiri, untuk itu perlu melibatkan orang
banyak. “Maka saudara mulai dilibatkan, dari mulai Om, tante, kaka ipar semua
diajak di bawah manajemen milik sendiri," ungkap Mega bersemangat.
Mega
menjelaskan mulai bulan Maret kemarin melakulan ekspor 3x dalam sebulan.
Semua itu untuk memenuhi restoran Indonesia. Belum lagi untuk restoran Turki
sendiri. Kerja sama dengan travel dan penerbangan merupakan kegiatan utama.
Maka kini Mega jadi member di Abudhabi dan Dokha.
“Semuanya
untuk kerja sama restoran di Turki,” pungkas Mega menutup
perbincangan karena mau siap-siap terbang ke Jerman. Hal ini dia katakan sambil
membawa produk kopi merek Waglo sebagai kerja sama perdana dengan penulis. (DN)